Hubungan Sosialisasi Dengan Kepribadian yaitu
dikarenakan Kepribadian itu sendiri terbentuk karena proses sosialisasi –
Agar lebih jelasnya berikut ini artikel tentang Hubungan Sosialisasi Dan
Kepribadian
A. Sosialisasi
1. Definisi Sosialisasi
Terdapat beberapa definisi sosialisasi menurut Kamus besar bahasa Indonesia dan
para ahli sosiologi seperti berikut ini.
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sosialisasi berarti suatu proses belajar seorang anggota masyarakat untuk
mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya.
b. Peter L. Berger
Sosialisasi adalah suatu proses seorang anak belajar menjadi anggota yang
berpartisipasi dalam masyarakat.
c. Paul B Horton
Sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang menghayati serta memahami
norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk
kepribadiannya.
d. Vander Zande
Sosialisasi adalah proses interaksi sosial dimana kita mengenal cara-cara
berpikir, berperasaan dan berperilaku sehingga dapat berperan serta secara
efektif dalam masyarakat
e. David A Goslin
Sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat
berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya.
Dapat disimpulkan bahwa melalui proses
sosialisasi individu diharapkan dapat berperan sesuai dengan nilai yang berlaku
dalam masyarakat dimana ia berada. Individu yang baru dilahirkan bagaikan
seonggok daging, hanya sebagai makhluk biologis yang memerlukan kebutuhan
biologis seperti minum bila haus, makan bila lapar dan bereaksi terhadap
rangsangan tertentu seperti panas, dingin dan lain sebagainya. Setelah
berinteraksi dengan individu lain yang berada di sekitarnya, atau dengan perkataan
lain setelah mengalami proses sosialisasi barulah individu tadi dapat
berkembang menjadi makhluk sosial.
Adapun Tujuan Sosialisasi adalah sebagai
berikut:
§ Memberi
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan seseorang.
§ Menambah
kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien.
§ Membantu
pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari.
§ Membiasakan
individu dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
2. Agen Sosialisasi
Sosialisasi dialami oleh individu sebagai
makhluk sosial sepanjang kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal
dunia. Karena interaksi merupakan kunci berlangsungnya proses sosialisasi maka
diperlukan agen sosialisasi, yakni orang-orang disekitar individu tersebut yang
mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma tertentu, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Agen sosialisasi dapat diartikan sebagai
pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat
individu tersebut belajar dari segala sesuatu yang menjadikannya dewasa. Secara
rinci agen sosialisasi yang utama adalah keluarga, kelompok bermain, sekolah,
lingkungan dan media massa.
a. Keluarga
Anak yang baru lahir, mengalami proses sosialisasi pertama kali adalah di dalam
keluarga. Dari sinilah pertama kali anak mengenal lingkungan sosial dan budayanya.
Anak mulai mengenal seluruh anggota keluarganya, yakni ayah, ibu, dan
saudaranya sampai anak mengenal dirinya sendiri serta menaati norma-norma yang
berlaku dalam keluarga. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk keluarga
yang harmonis.
Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses
sosialisasi manusia.
Hal ini dimungkinkan karena keluarga memiliki
berbagai kondisi sebagai berikut.
1. Keluarga
merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka di antara anggotanya. Di
antara anggotanya dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggota yang
lain.
2. Orang tua
mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya sehingga menimbulkan
hubungan emosional yang sangat diperlukan dalam proses sosialisasi.
3. Adanya
hubungan sosial yang tetap maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan
yang penting terhadap proses sosialisasi anak.
Corak hubungan orang tua dengan anak yang akan
menentukan proses sosialisasi serta perkembangan kepribadiannya dapat dibedakan
menjadi tiga pola, yaitu pola menerima-menolak, memakai-melepaskan, dan
demokrasi-otokrasi.
1) Pola
menerima-menolak
Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak. Seorang anak
yang dibesarkan dalam pola menolak akan cenderung bersikap menantang kekuasaan
dan selalu curiga terhadap orang lain. Anak sudah tidak takut lagi terhadap
hukuman karena sudah terlalu sering mendapat hukuman dari orang tuanya.
2) Pola
memiliki-melepaskan
Pola ini didasarkan atas besarnya sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola
ini bergerak dari sikap orang tua yang over protektif sampai mengabaikan
anaknya sama sekali. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menganut
pola memiliki-melepaskan, cenderung berwatak tidak patuh, tidak dapat menahan
emosi, dan menuntut orang lain secara berlebihan, pemalu, cemas, dan ragu-ragu.
3) Pola
demokrasi-otokrasi
Pola ini didasarkan atas tingkat partisipasi anak dalam menentukan
kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pada pola otokrasi, orang tua bertindak
sebagai diktator terhadap anak. Dalam pola demokrasi-otokrasi anak dapat
berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga sampai batas-batas tertentu.
Dalam keluarga yang demokratis, anak akan
berkembang lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional.
Sebaliknya, dalam keluarga otokrasi, anak memandang kekuasaan sebagai sesuatu
yang harus diikuti sehingga anak akan tunduk secara membabi buta atau bahkan
bersikap menantang.
b. Kelompok Bermain (peer group)
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam
membentuk pola perilaku seseorang. Di dalam keluarga, interaksi yang dipelajari
di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat (hubungan dengan orang tua,
kakek atau nenek, kakak, adik, paman atau bibi). Sementara itu, dalam kelompok
bermain, seorang anak belajar berinteraksi dengan orang-orang sederajat atau
sebaya.
Di dalam kelompok bermain, individu mempelajari norma, nilai, kultur, peran,
dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan
berpartisipasi yang efektif di dalam kelompok bermainnya. Dalam kelompok
bermain pulalah seorang anak mulai belajar tentang nilai-nilai keadilan.
c. Sekolah
Agen sosialisasi berikutnya adalah sekolah. Sekolah merupakan agen sosialisasi
di dalam sistem pendidikan formal. Di sekolah seseorang mempelajari hal-hal
baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain.
Pendidikan formal di sekolah mempersiapkan anak didik agar dapat menguasi
peranan-peranan baru yang dapat diterapkan apabila ia tidak lagi tergantung
pada orang tua.
d. Lingkungan Kerja
Kelompok lingkungan kerja sangat beraneka ragam, misalnya kelompok pekerja
pabrik, kelompok pegawai kantor, kelompok petani, dan kelompok pedagang. Setiap
kelompok memiliki aturan-aturan sendiri. Seseorang yang melanggar aturan dapat
dikenai sanksi. Melalui peraturan, seseorang mempelajari berbagai nilai dan
norma yang harus dipatuhi untuk mencapai tujuan, misalnya meningkatkan disiplin
diri dan meningkatkan kerja sama dengan teman. Dalam hubungan sosial di
lingkungan kerja, setiap orang harus menjalankan peranan sesuai dengan
kedudukannya.
e. Media Massa
Media massa juga merupakan agen sosialisasi yang cukup berpengaruh terhadap
perilaku masyarakat. Kehadiran media massa mempengaruhi sikap dan tidakan
anggota masyarakat. Nilai dan norma yang disampaikan dan disajikan oleh media
massa akan tertanam dalam diri seseorang melalui penghilatan ataupun
pendengaran.
Informasi melalui media massa dapat bersifat positif atau negatif. Apabila
informasi tersebut bersifat positif maka akan terbentuk kepribadian yang
positif. Sebaliknya, jika informasi tersebut bersifat negatif maka akan
terbentuk kepribadian yang negatif. Media massa sering digunakan untuk
mengukur, membentuk dan mempengaruhi pendapat umum.
3. Pola-Pola Sosialisasi
Dalam lingkungan keluarga terdapat dua macam pola sosialisasi, yaitu
sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatif.
a. Sosialisasi represif (repressive socialization)
Sosialisasi represif mengutamakan adanya ketaatan anak pada orang tua.
Sosialisasi dengan pola ini menekankan penggunaan hukuman terhadap kesalahan
yang dilakukan anak. Sosialisasi semacam ini menunjukkan adanya komunikasi yang
sifatnya satu arah, yaitu terletak pada keinginan orang tua saja.
Ciri ciri sosialisasi represif antara lain sebagai berikut:
1) Menghukum perilaku yang keliru.
2) Keluarga didominasi orang tua.
3) Hukuman dan imbalan material.
4) Anak memperhatikan keinginan orang tua.
5) Kepatuhan anak.
6) Sosialisasi berpusat pada orang tua.
7) Komunikasi nonverbal.
8) Komunikasi sebagai perintah.
b. Sosialisasi partisipatif/partisipatoris (participatory
socialization)
Sosialisasi partisipatif mengutamakan adanya partisipasi dari anak memberikan
apa yang diminta anak apabila anak berperilaku baik. Penekanannya pada
interaksi anak yang menjadi pusat sosialisasi dan kebutuhannya. Komunikasi yang
terjalin adalah komunikasi dua arah, sehingga terjalin pengertian antara orang
tua dan anak.
Ciri sosialisasi partisipatif antara lain sebagai berikut;
1) Memberikan imbalan bagi perilaku yang baik.
2) Orang tua memperhatikan keinginan anak.
3) Keluarga merupakan generalize other (kerja sama ke arah tujuan).
4) Otonomi anak.
5) Sosialisasi berpusat pada anak.
6) Komunikasi sebagai interaksi
7) Komunikasi verbal.
8) Hukuman dan imbalan simbolis.
4. Tahap-Tahap Sosialisasi
Menurut tahapannya sosialisasi dibedakan menjadi
dua tahap, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
a. Sosialisasi primer
Merupakan sosialisasi yang pertama dijalani oleh individu semasa kecil, dimana
ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer
membentuk kepribadian anak dan keluargalah yang berperan sebagai agen
sosialisasi.
b. Sosialisasi sekunder
Didefinisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah
disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya; dalam
tahap ini proses sosialisasi mengarah pada terwujudnya sikap profesionalisme;
dan dalam hal ini yang menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer
group, lembaga pekerjaan dan lingkungan yang lebih luas dari keluarga.
Sosialisasi bisa berlangsung secara tatap muka,
tapi bisa juga dilakukan dalam jarak tertentu melalui sarana media, atau surat
menyurat, bisa berlangsung secara formal maupun informal, baik sengaja maupun
tidak sengaja. Sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang
disosialisasikan ataupun orang yang melakukan sosialisasi, sehingga kedua
kepentingan tersebut bisa sepadan ataupun bertentangan.
Dalam masyarakat yang homogen, proses
sosialisasi bisa berjalan dengan serasi menurut pola yang sama, karena
nilai-nilai yang ditransmisikan dalam proses sosialisasi sama. Namun dalam
masyarakat yang heterogen di mana terdapat banyak kelompok dengan nilai-nilai
yang tidak sepadan dalam mempengaruhi individu, maka proses sosialisasi tidak berlangsung
seperti dalam masyarakat yang homogen. Sama seperti dalam kelompok primer, agen
sosialisasi hanya terbatas pada anggota keluarga, sedang pada sosialisasi
sekunder terdapat banyak agen sosialisasi diluar keluarga yang menanamkan
nilai-nilai yang berbeda dengan nilai yang ada dalam keluarga, bahkan
kadang-kadang bertetangan. Dalam situasi demikian, seseorang dapat mengalami
proses yang disebut desosialisasi, yaitu proses “pencabutan” diri yang dimiliki
seseorang, yang kemudian disusul dengan resosialisasi, dimana seseorang
diberikan suatu diri yang baru yang tidak saja berbeda tetapi juga tidak
sepadan.
Bentuk sosialisasi sekunder lainnya adalah
anticipatory socialization merupakan persiapan seseorang untuk peranan yang
baru. Sosialisasi antisipatoris ini mendahului perubahan status dari suatu
kelompok ke kelompok lain, atau dari suatu jenjang pendidikan/pekerjaan ke
jenjang yang lebih tinggi. Sosialisasi antisipatoris ini juga dialami ketika
seseorang yang baru lulus sarjana akan memasuki dunia kerja dan sebagainya.
5. Sosialisasi Sebagai Suatu Proses
Untuk menjadi masyarakat yang “normal” atau
diterima di dalam masyarakat, diperlukan kemampuan untuk menilai secara
objektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Kalau sudah
memperoleh kemampuan tersebut berarti seseorang memiliki apa yang dinamakan
“self” (diri). “Self” terbentuk dan berkembang melalui proses sosialisasi,
dengan cara berinteraksi dengan orang lain. Ciri orang yang sudah mempunyai
“self” adalah orang yang sudah mampu merefleksikan atau memberlakukan dirinya
sebagai objek dan subjek sekaligus. Bagaimana mungkin hal ini terjadi?
Dalam penjelasannya, Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep
“looking glass self”, dimana senantiasa dalam benak individu terjadi suatu
proses yang ditandai oleh 3 tahap terpisah, yaitu:
1) Persepsi, dalam tahap ini kita membayangkan bagaimana orang melihat kita;
2) Interpretasi dan definisi, disini kita membayangkan bagaimana orang lain
menilai penampilan kita;
3) Respons, berdasarkan persepsi dan interpretasi individu tersebut menyusun
respons
Berbeda dengan Cooley, George Herbert Mead
berpendapat bahwa orang yang sudah memiliki “self” dijumpai pada penguasaan
bahasanya, yakni pada anak-anak yang sudah berusia lima tahun. Kemampuan untuk
menganggap diri sebagai objek dan subjek secara sekaligus ini diperoleh dalam
tiga tahap berikut:
1) Preparatory Stage
Tahap ini merupakan tahap persiapan seorang anak untuk memperoleh pemahaman
tentang dirinya. Seorang anak akan melakukan kegiatan meniru secara tidak
sempurna. Orang-orang di lingkungan keluarga si anak sangat berperan dalam
proses peniruan yang belum sempurna.
2) Play stage (Tahap Meniru)
Dalam tahap ini anak mengembangkan kemampuannya untuk melihat diri sendiri.
Kegiatannya tidak konsisten, tidak terorganisasir, peranan berganti-ganti,
karena belum ada konsepsi yang terpadu mengenai dirinya.
Pada tahap meniru, seorang anak mulai belajar mengambil peranan orang-orang
yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh
orang tuanya atau orang dewasa lain yang sering berinteraksi dengannya.
Misalnya, anak mulai dapat bermain masak-masakan bersama beberapa orang teman
atau dengan bonekanya.
3) Game stage (Tahap Siap Bertindak)
Berbeda dengan play stage, di sini ada himpunan yang terorganisir. Anak harus
sudah mengetahui posisinya dalam konteks yang lebih luas dan memberikan
tanggapan terhadap harapan-harapan orang lain; individu sudah mampu
menghubungkan dirinya dengan komunitas di mana ia menjadi anggotanya.
Pada tahap ini seorang anak tidak hanya mengetahui peranan yang harus
dijalankannya. Akan tetapi, ia telah mengetahui peranan yang harus dijalankan
oleh orang lain. Dalam kondisi ini, kemampuan menempatkan diri pada posisi
orang lain pun meningkat.
4) Generalized other (Tahap Penerimaan Norma Kolektif)
Yaitu kemampuan anak untuk mengabstraksikan peran-peran dan sikap-sikap dari
significant othernya serta menggeneralisasikannya untuk semua orang, termasuk
dirinya. Tahap ini menunjukkan bahwa seorang anak telah mampu mengambil peran
semua pihak yang terlibat dalam proses sosialisasi. Ia telah mampu berinteraksi
dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta
peran orang lain dalam suatu interaksi.
Mead mengemukakan gagasan bahwa “self” (diri)
mempunyai dua komponen, yaitu:
1. I, adalah faktor-faktor yang khas yang memasuki komunikasi kita
dengan orang lain;
2. Me, segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial.
Jadi proses terbentuknya Self pada anak diawali dari: Orang tua mengekspresikan
dirinya, kemudian diidentifikasi dan diinternalisasi menjadi peran dan sikap
oleh anak, akhirnya terbentuklah Self si anak.
B. Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Terdapat beberapa sosiolog yang mengemukakan definisi kepribadian seperti
Roucek dan Warren, Theodere R Newcomb, Yinger dan Cuber.
a. Roucek dan Warren - Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku seoang individu.
b. Theodore R Newcomb - Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang
dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku.
c. Yinger - Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu
dengan sistem kecendrungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian
situasi.
d. Cuber - Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang
tampak dan dapat dilihat oleh seseorang.
2. Susunan kepribadian
a. Pengetahuan
Terisi dengan fantasi, pemahaman dan konsep yang lahir dari pengamatan dan
pengalaman menganai bermacam-macam hal.
b. Perasaan
Suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan penilaian positif atau
negatif terhadap sesuatu dan bersifat subjektif.
c. Dorongan naluri
Merupakan kemauan yang sudah meruapakan naluri pada setiap manusia.
Diantaranya:
§ Dorongan
untuk mempertahankan hidup
§ Dorongan
seksual
§ Dorongan
untuk mencari makan
§ Dorongan
untuk bergaul dan berinteraksi
§ Dorongan
untuk meniru tingkah laku sesama
§ Dorongan
untuk berbakti
§ Dorongan
akan keindahan bentuk, warna, suara dan gerak
3. Faktor-faktor Pembentuk Kepribadian
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Warisan biologis
Semua manusia yang normal dan sehat mempunyai persamaan biologis tertentu,
seperti mempunyai dua tangan, panca indera, kelenjar seksual dan otak yang rumit.
Setiap warisan biologis seseorang juga bersifat unik, yang berarti bahwa tidak
seorangpun (kecuali anak kembar) yang mempunyai karakteristik fisik yang sama.
Untuk beberapa ciri, warisan biologis lebih penting dari pada yang lainnya.
Misalnya beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa IQ anak angkat lebih mirip
dengan IQ orang tua kandungnya daripada dengan orang tua angkatnya; dan dalam
keluarga tertentu anak kendung lebih mengikuti IQ orang tuanya dari pada anak
angkat.
b. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepribadian.
Bangsa Athabascans memiliki kepribadian yang dominan yang menyebabkan mereka
dapat bertahan hidup dalam iklim yang lebih dingin daripada daerah Arctic.
Orang pedalaman Australia harus berjuang dengan gigih untuk tetap hidup,
padahal bangsa Samoa hanya memerlukan sedikit waktu setiap harinya untuk
mendapakan lebih banyak makanan daripada yang bisa mereka makan. Suku Ik
(dibaca “eek”) dari Uganda sedang mengalami kelaparan secara perlahan, karena
hilangnya tanah tempat perburuan tradisional dan mereka menjadi sekelompok
orang yang paling tamak, paling rakus di dunia; sama sekali tidak memiliki
keramahan tidak suka menolong atau tidak mepunyai rasa kasihan, malah merebut
makanan dari mulut anak mereka dalam perjuangan mempertahankan hidup. Suku
Quolla dari Peru digambarkan oleh Trotter (1973) sebagai sekelompok orang yang
paling keras di dunia dan ia menghubungkan hal ini dengan hipoglikemia yang
timbul karena kekurangan makanan.
c. Kebudayaan
Sejak saat kelahiran, seorang anak diperlakukan dalam cara-cara yang membentuk
kepribadian. Setiap kebudayaan menyediakan seperangkat pengaruh umum, yang
sangat berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Linton:
“dalam beberapa (masyarakat) bayi-bayi hanya disusui bila mereka menangis.
Dalam masyarakat lain mereka diberi minum menurut jadwal yang teratur. Dalam
beberapa masyarakat mereka dirawat oleh setiap wanita yang kebetulan siap,
dalam masyarakat lain mereka dirawat hanya oleh ibunya sendiri. Dalam beberapa
masyarakat, proses perawatan bayi merupakan kegiatan santai yang disertai oleh
elusan-elusan dan kenikmatan indrawi yang penuh untuk ibu dan anak. Dalam
masyarakat lain perawatan bayi bukan merupakan kegiatan yang memerlukan waktu khusus
dan santai, Ibu memandang kegiatan ini sebagai interupsi kegiatan teraturnya
dan mendesak anaknya untuk menyelesaikannya secepat mungkin”.
Masyarakat bisa merawat anak itu sejak sejak
dari masa bayi dan melatihnya dengan bebas untuk masa dewasanya, atau
masyarakat bisa membiarkan anak itu liar sampai usai pubertas. Ia mungkin
mendapat hukuman badani untuk kesalahan kecil sekalipun. Ia bisa dipaksa
bekerja dan diperlakukan sebagai seorang anggota kelompok keluarga yang harus
ikut bertanggung jawab hampir sejak ia mampu berjalan dan kepadanya selalu
ditekankan bahwa hidup adalah nyata dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu dalam
beberapa suku Madagaskar, anak-anak tidak saja mulai bekerja pada usia yang
sangat muda, tetapi juga menikmati hak-hak memiliki yang penuh. Dipihak lain
anak-anak di kampung Marqueas tidak bekerja dan tidak menerima tanggung jawab.
Mereka membentuk kesatuan sosial yang sagat terpadu dan berbeda dan hampir
tidak berhubungan dengan orang dewasa. Anak laki-laki dan perempuan di bawah usia
puber selalu bersama-sama dan sering tidak pulang bahkan untuk makan atau
tidur. Mereka bepergian seharian tanpa izin orang tua, menangkap ikan dan
mencari tanaman untuk makan dan bermalam dalam rumah siapa saja yang kebetulan
dekat ketika malam tiba. (Ralp Linton, The Sutdy of Man, 1936).
d. Pengalaman kelompok
Sepanjang hidup seseorang kelompok-kelompok tertentu adalah penting sebagai
model untuk gagasan atau norma-norma perilaku seseorang. Kelompok semacam itu
disebut kelompok referens (reference group). Mula-mula kelompok keluarga adalah
kelompok yang terpenting, karena kelompok ini merupakan kelompok satu-satunya
yang dimiliki bayi selama masa-masa yang paling peka. Kepribadian dasar dari
individu dibentuk pada tahun-tahun pertama dalam lingkungan keluarga.
Beberapa tahun kemudian kelompok sebaya (peer group) menjadi penting sebagai
suatu kelompok referens. Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan pengakuan
sosial dalam kelompok sebaya sering diikuti oleh penolakan sosial dan kegagalan
sosial seumur hidup. Banyak studi telah menunjukkan bahwa pada usia 15 tahunan
kelompok sebaya telah menjadi kelompok referens yang sangat penting dan
barangkali merupakan pengaruh yang paling penting terhadap sikap, tujuan serta
norma perilaku.
e. Pengalaman unik
Mengapa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sama
sedemikian berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun mereka pernah
mendapatkan pengalaman yang sama? Masalahnya adalah karena mereka tidak
mendapatkan pengalaman yang sama; mereka pernah mendapatkan pengalaman yang
serupa dalam beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal lainnya. Setiap anak
memasuki suatu unit keluarga yang berbeda. Anak yang dilahirkan pertama, yang
merupakan anak satu-satunya sampai kelahiran anak yang kedua, kemudian akan
mempunyai adik laki-laki atau perempuan dengan siap ia dapat bertengkar.
Orang tua berubah dan tidak memperlakukan sama
semua anaknya. Anak-anak memasuki kelompok sebaya yang berbeda, mungkin
mempunyai guru yang berbeda dan berhasil melampaui peristiwa yang berbeda pula.
Sepasang anak kembar mempunyai warisan yang identik dan lebih cenderung
memperoleh pengalaman yang sama. Mereka berada dalam suatu keluarga
bersama-sama, seringkali mempunyai kelompok sebaya yang sama dan diperlakukan
kurang lebih sama oleh orang lain, akan tetapi bahkan anak kembar pun tidak
mengalami bersama seluruh peristiwa dan pengalaman. Pengalaman setiap orang
adalah unik dan tidak ada pengalam siapapun yang secara sempurna dapat
menyamainya. Suatu inventarisasi dari pengalaman sehari-hari berbagai anak-anak
dalam suatu keluarga yang sama akan mengungkapkan banyaknya perbedaan.
Menurut F.G Robbins, ada lima faktor yang
menjadi dasar kepribadian, yaitu sifat dasar, lingkungan prenatal, perbedaan
individual, lingkungan dan motivasi.
a. Sifat dasar
Sifat dasar merupakan keseluruhan potensi yang diwarisi seseorang dari ayah dan
ibunya. Faktor keturunan adalah faktor-faktor yang dibawa sejak lahir
(ascribed) dan merupakan transmisi unsur-unsur dari orang tuanya melalui proses
genetika; jadi sudah ada sejak awal kehidupan. Misalnya jenis kelamin, suku
bangsa, warna kulit. Delgado menganalogikan faktor keturunan ini dengan istilah
“blue print” (cetak biru) sebuah bangunan
b. Lingkungan prenatal
Lingkungan prenatal adalah lingkungan dalam kandungan ibu. Pada periode
prenatal ini individu mendapatkan pengaruh-pengaruh tidak langsung dari ibu.
c. Perbedaan individu
Sejak dilahirkan oleh ibunya, anak akan tumbuh dan berkembang sebagai individu
yang unik, serta berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan individu tersebut
meliputi perbedaan ciri-ciri fisik seperti warna kulit, warna mata, rambut,
bentuk badan, personal dan sosial.
d. Lingkungan
Situasi lingkungan yang mempengaruhi proses sosialisasi dapat dibedakan atas
lingkungan alam, lingkungan kebudayaan, serta lingkungan sosial.
1) Lingkungan alam meliputi keadaan iklim, tanah, flora, fauna,
dan sumber daya di sekitar individu.
2) Lingkungan kebudayaan meliputi cara hidup masyarakat tempat individu itu
hidup.
3) Lingkungan sosial adalah pengaruh manusia lain dan masyarakat disekitarnya
dan dapat membatasi proses sosialisasi serta memberi stimulasi terhadap
perkembangannya.
e. Motivasi
Motivasi adalah kekuatan-kekuatan dari dalam individu yang menggerakkannya
untuk berbuat sesuatu. Motivasi dibedakan menjadi dua, yakni dorongan dan
kebutuhan.
1) Dorongan adalah keadaan tidak seimbang dalam diri individu
karena pengaruh dari dalam dan luar dirinya.
2) Kebutuhan adalah dorongan yang telah ditentukan secara personal, sosial dan
kultural